welcome to my site

Selasa, 06 Desember 2011

Antara Demokrasi dan Amanah Pancasila

Jika boleh memilih sesuai dengan pikir ku, aku ingin PEMILU dihapuskan. Karena PEMILU bukanlah wujud dari amanah pancasila. tak mungkin kita lupa (kecuali khilaf) bahwa sila 4 Pancasila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” berarti anjuran untuk meletakkan musyawarah sebagai penentu keijakan tertinggi, maka muncullah para anggota dewan sebagai wujud perwakilan dari setiap wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat. Musyawarah jika sesuai dengan amanah pancasila adalah setinggi-tingginya sarana penentu keputusan. Relevan pula dengan anjuran dalam agama islam untuk menjadikan musyawarah sebagai sarana pemersatu pendapat yang berbeda. Bukan beralih menjadi sistem pemilihan umum yang mengedepankan voting untuk mendapatkan hasil akhir.

Namun aku jadi kembali berpikir, akankah sistem yang telah dibuat sejak masa aku duduk di bangku sekolah dasar ini akan dengan mudah dihapuskan? Persoalan yang kemudian muncul bukan karena alasan melestarikan Pemilu sehingga pamali jika Pemilu dihapus. Namun, disadari atau tidak, kehadiran Pemilu memang menjadi solusi atas ketidakpuasan masyarakat pada pemerintahan yang dinilai otoriter, sehingga Pemilu yang diadopsi dari Benua Amerika sana muncul sebagai solusi yang solutif untuk menunjukkan adanya keterlibatan rakyat secara langsung dalam penentuan kebijakan di Negeri ini, salah satunya adalah dengan memilih Presiden dan para wakil rakyat secara lanngsung.

Dan aku mulai berpikir lebih jauh. Bahwa rakyat Indonesia belum bisa mengemban amanah Pancasila untuk menjadikan musyawarah sebagai penentu kebijakan tertinggi. Adanya sistem demokrasi yang diadopsi menjadi demorasi pancasila, kemudian mendatangkan persoalan lain yang tak kalah peliknya dengan urusan sebelumnya, yakni jalannya musyawarah antara para wakil rakyat yang tak berujung mulus, bahkan tak jarang bergeser menjadi musyawarah untuk laba rugi antar wakil rakyat, sekali lagi laba rugi antar wakil rakyat bukan laba rugi rakyat.

Kemudian terus berpikir lebih dalam, bahwa setiap ajang musyawarah akan berujung perdebatan sengit yang pada akhirnya membuat voting sebagai penentu yang ‘bijak’. Musyawarah belum bisa menempati posisinya sebagai pemersatu pendapat. Kerasnya kepala bangsa Indonesia agaknya membuat setiap pendapat terasa penting dan benar untuk dipertahankan hingga tak ada satupun yang mau berlogika dan mensinergikan berbagai pendapat berbeda.

Ternyata memang masuk akal untuk masa ini. Bahwa musyawarah belum menjadi relevan untuk tingginya perbedaan dan kentalnya Asshobiyah golongan yang kentara. Pikiran-pikiran logis belum mampu merajai kepala-kepala cerdas pribumi. Sampai setiap detik yang dilalui dalam musyawarah terasa tak berguna karena hanya berisi silang pendapat.

Dan semboyan Bhineka Tunggal Ika hanya berlaku untuk satu tunggal yaitu Indonesia, tetapi tidak untuk pikiran dan untuk hati orang-perorangnya. Tidak untuk satu langkah satu tindakan memajukan Indonesia, tetapi hanya sebatas tunggal ika, love for Indonesia. Kebanggaan bangsa ini memang sangat besar untuk Indonesianya. Setiap kelompok masyarakat mengatak aku cinta Indonesia, tapi entahlah ... Indonesia mana yang dimaksud. Mungkin benar jika Indonesia yang dicintai suatu kelompok, berbeda dengan Indonesia yang dibanggai kelompok lain.

Lalu menjadi apa arti Bhineka Tunggal Ika??

Entahlah

Tinzy_08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar